Oleh : Wawan Kurniawan, S.Sos,
M.Si*
Sektor pertanian menjadi sumber penghidupan hampir 80 %
rakyat Indonesia. Masa pemerintahan rezim Orde Baru yang berlangsung selama 32
tahun di tambah era reformasi saat ini membuktikan pertanian masih menjadi icon
pembangunan nasional. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun
2006-2009 memprioritaskan pertanian dan kelautan sebagai prime over pembangunan
nasional. Kebijakan ini memiliki nilai ekonomi
politik strategis karena pemerintah berani mengubah paradigma yang selama
ini hanya bertebaran sebagai wacana di forum-forum ilmiah maupun diskusi
publik.
Sayangnya, kebijakan ini kurang mendapatkan respon yang serius dari
semua institusi negara akibat cara pandang dan pakem politik pembangunan yang
masih bersifat konvensional. Konvensional karena memandang pertanian tidak
jauh-jauh dari masalah budidaya
pertanian misalnya bersawah, beternak dan memelihara ikan.
Problem Ekonomi Politik
Problem pembangunan pertanian pada hakikatnya bersifat
ekonomi politik. Pertama, di satu sisi pertanian diposisikan sebagai mainstream
pembangunan nasional karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Makanya, pemerintah mengeluarkan kebijakan revitalisasi
pertanian, pertanian dan kehutanan (RPPK). Akan tetapi, di sisi lain pemerintah
tidak konsisten karena alokasi anggaran pembangunan pertanian tidak lebih dari
Rp 4 triliun. Mungkinkah dengan anggaran sebesar itu mampu menggerakan RPPK
sehingga menjadi gerakan pembangunan bersama di Indonesia dengan segala
aktivitas yang dikembangkan dari hulu sampai hilir? Pertanyaannya, sudah
sejauhmana hasil RPPK sampai kini dan apa dampaknya terhadap masyarakat
Indonesia khususnya petani, nelayan, peternak dan masyarakat sekitar hutan?
Kedua, pertanian Indonesi saat ini mengalami ketergantungan dengan
pihak luar sehingga hampir semua kebutuhan pangan pokok diimpor. Setiap tahun
kita mengimpor beras, jangung, gula, kedelai, garam, daging, dan lainnya
sehingga tidak ada kedaulatan pangan bagi rakyat Indonesia. Padahal secara
obyektif hampir seluruh wilayah tanah air memiliki keunggulan tersendiri dalam
memproduksi hasil-hasil pertanian. Makanya, bangsa ini tidak hanya mengalami
ketergantungan akibat utang luar negeri dan teknologi selama tiga dasawarsa,
melainkan juga mengalami ketergantungan pertanian.
Ketiga,
pertanian Indonesia masuk dalam jebakan (trap)
hegemoni globalisasi dan perdagangan bebas. Kebijakan pemerintah memasukan
”pertanian” dalam World Trade
Organization (WTO) merupakan langkah ”konyol” karena negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa tidak melakukan hal itu. Justru
mereka secara terselubung memproteksi dan mensubsidi sektor pertanian di atas
20 % dari belanja negaranya. Negera-negara maju melakukan politik
”ketidakadilan” terhadap negara berkembang. Negara maju memberlakukan pajak bea
masuk yang tinggi untuk produk pertanian negara berkembang yang masuk ke negaranya seperti dalam kasus ekspor udang
Indonesia yang ditolak Jepang beberapa waktu yang lalu. Sementara, mereka
sendiri memaksa negara berkembang untuk meliberalisasi sektor pertaniannya. Artinya, produk pertanian mereka masuk ke negara-negara
berkembang tanpa harus dikenai bea masuk. Ditambah lagi hegemoni mereka di WTO
dengan memasukan ketentuan-ketentuan internasional yang melemahkan daya saing
produk-produk pertanian negara berkembang umpamanya bioterorisme. Dampaknya bagi pertanian Indonesia adalah bukannya
bertambah maju, malah semakin terpuruk. Kasus malnutrisi, kelaparan dan impor
sebagain besar kebutuhan pokok pangan adalah fakta yang tak terbantahkan.
Keempat,
pendidikan pertanian Indonesia salah kaprah dan tidak berpihak pada
konstituennya. Hampir 80 % perguruan tinggi (PT) di Indonesia baik negeri
maupun swasta memiliki fakultas pertanian, teknologi pertanian, perikanan dan
kelautan, kehutanan serta peternakan.
Anehnya, kurikulum dan sistem pendidikan di hampir PT tersebut jauh dari
”keberpihakan” terhadap konstituennya yaitu petani, nelayan, peternak dan
masyarakat sekitar hutan. Paradigma semacam ini bukannya mengarahkan lulusan sarjana atau praktisi
yang berkiprah dalam pembangunan pertanian untuk menjadi petani atau nelayan
pada umumnya di Indonesia. Paradigma ini justru memberikan kesadaran idiologis
dan intelektual organik bagi lulusan-lulusan PT pertanian bahwa masih
konstituennya yang masih berada dalam struktur masyarakat yang terpinggirkan
dan miskin secara sturktural. Kesadaran seperti ini nantinya akan menjadi
”modal sosial” (Social Capital)
ketika mulai berkiprah dalam dunia kerja di bidang apapun sesuai dengan
kapasitas dan kemampuan intelektualnya. Oleh karenanya mereka harus berpihak
baik secara idiologis maupun politik terhadap konstituen dimana pun mereka
berkiprah. Apakah dalam sektor perbankan, jasa, keuangan, politik, birokrasi
maupun lembaga swadaya masyaraat (LSM).
Hal lain yang tidak kalah penting adalah PT berbasis pertanian hanya
menjadi emansipatoris dalam mewacanakan pembangunan pertanian. Lebih tepat
dikatakan ”membebek” saja dengan kebijakan pemerintah tanpa adanya krititisme
yang kosntruktif. Harusnya PT pertanian setidaknya memberikan second opinion dalam mewacanakan
pembangunan pertanian sembari menyiapkan konsep yang komprehensif, terukur dan
dapat diimplementasikan pada level naional maupun daerah. Bukannya ikut-ikuttan
melegitimasi apa yang diwacanakan pemerintah tanpa kritik dan anti tesis secara
konsepsional.
Kelima, kebijakan politik pembangunan pertanian yang
bombastis pada tataran konsep tapi mati suri saat implementasi. Lebih tepat
dikatakan sebagai wacana kosa kata pembangunan. Mungkin di negeri ini kita
sudah bosan mendengar istilah – istilah bombastis menyangkut pembangunan
pertanian dalam arti luas. Dahulu kita mendengar ”revolusi hijau”, revolusi
biru, RPPK, reforma agraria, ketahanan pangan, agropolitan, Gerbang Mina Bahari, dan segala kosa kata
yang dikembangkan. Semua istilah itu hanya sebatas memberi angin sorga bagi
konstituen pertanian, tanpa implementasi yang jelas. Kalaupun ada
implementasinya hanya sebatas seremonial oleh Kepala Negara dan para menterinya
lalu dipublikasikan media massa secara besar-besaran dan selesai sampai di
situ. Soal bagaimana langkah kongkrit selanjutnya tidak jelas. Lantas apa yang
dapat diharapkan dari gaya politik pembangunan pertanian yang demikian itu?
Merujuk
uraian-uraian di atas mengisyaratkan bahwa pembangunan pertanian Indonesia pada masa datang
memerlukan perubahan paradigma, platform
dan reposisi yang jelas dari segi politik dan kebijakan pembangunan,
kelembagaan, dan sistem pendidikan pertanian.
Perubahan itu akan terjadi apabila dalam pelaksanaannya didukung oleh
kepemimpinan nasional maupun daerah/lokal yang ”memihak” pertanian dan
konstituennya dalam kebijakan pembangunannya. Hal lain yang tidak kalah penting
adalah kepemimpinan itu harus bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
serta memiliki kapasitas manajerial yang handal dan keberanian untuk
mengimplementasikan perubahan kebijakan pembangunan pertanian. Tanpa hal itu,
pembangunan pertanian Indonesia akan semakin mengalami keterpurukan,
keterpinggiran dan ketergantungan dalam arus liberalisasi ekonomi dunia yang
mengglobal. Hal ini
merupakan tanggung jawab kita bersama..!!!
“Memiliki kekuasaaan untuk berbuat jahat tetapi tidak
melakukannya itulah kebajikan”.
“Memiliki kekuatan untuk berbuat
baik tetapi tidak melakukannya itulah keburukan.”
*) Calon Walikota Bogor